Tangkuban Perahu (spelt Tangkuban Parahu in the local Sundanese dialect) is a volcano 30 km north of the city of Bandung, the provincial capital of West Java, Indonesia. It last erupted in 1826, 1829, 1842, 1846, 1896, 1910, 1926, 1929, 1952, 1957, 1961, 1965, 1967, 1969, 1983. It is a popular tourist attraction where tourists can hike or ride to the edge of the crater to view the hot water springs and boiling mud up close, and buy eggs cooked on the hot surface.[2] This stratovolcano is on the island of Java and last erupted in 1983. Together with Mount Burangrang and Bukit Tunggul, those are remnants of the ancient Mount Sunda after the plinian eruption caused the Caldera to collapse.
In April 2005 the Directorate of Volcanology and Geological Hazard Mitigation rai
Eruptive History
A study conducted in 2001 determined that Tangkuban Perahu has erupted at least 30 times in the previous 40,750 years. Studies of the tephra layers within 3 km of the crater revealed that twenty one were minor eruptions and the remaining nine were major eruptions. The eruptions that occurred prior to approximately 10,000 years ago were magmatic/phreatomagmatic. The eruptions that occurred after 10,000 years ago were phreatic."[4] The volcano erupted as recently as October 5, 2013.[5]
Legend
Main article: Sangkuriang
The name translates roughly to "upturning of (a) boat" or "upturned boat" in Sundanese, referring to the local legend of its creation. The story tells of "Dayang Sumbi", a beauty who lived in West Java. She cast away her son "Sangkuriang" for disobedience, and in her sadness was granted the power of eternal youth by the gods. After many years in exile, Sangkuriang decided to return to his home, long after the two had forgotten and failed to recognize each other. Sangkuriang fell in love with Dayang Sumbi and planned to marry her, only for Dayang Sumbi to recognize his birthmark just as he was about to go hunting. In order to prevent the marriage from taking place, Dayang Sumbi asked Sangkuriang to build a dam on the river Citarum and to build a large boat to cross the river, both before the sunrise. Sangkuriang meditated and summoned mythical ogre-like creatures -buto ijo or green giant(s)- to do his bidding. Dayang Sumbi saw that the tasks were almost completed and called on her workers to spread red silk cloths east of the city, to give the impression of impending sunrise. Sangkuriang was fooled, and upon believing that he had failed, kicked the dam and the unfinished boat, resulting in severe flooding and the creation of Tangkuban Perahu from the hull of the boat.
SEJARAH GUNUNG TANGKUBAN PERAHU
Sangkuriang dan dayang sumbi, tokoh legenda sunda yang begitu terlintas di telinga kita maka pikiran kita akan teralih dan teringat suatu gunung yang terletak dikawasan Bandung Utara, Tagkuban Perahu begitu nama gunung tersebut yang di kisahkan menurut legenda dan cerita rakyat gunung ini terbentuk oleh seorang anak mahkota dari seorang ratu yang bernama dayang sumbi, dimana anak tersebut ( sangkuriang ) menendang perahu hingga menangkub ( terbalik ) karena tidak jadi menikahi dayang sumbi yang tidak lain adalah ibu nya sendiri. Kini Gunung yang berjarak 30 km dari pusat kota Bandung ini kini telah menjadi objek pariwisata dengan keunggulan kawah – kawah hasil letusannya menjadi andalan objek wisata gunung Tangkuban perahu, gunung yang memiliki ketinggian 2084 mdpl dengan 13 kawah yang tersebar di kawasan puncak gunung Tangkuban Perahu. Secara geologi Gunung Tangkuban Perahu memainkan peranan penting dalam pengembangan tinggi Parahyangan. Erupsi sangat berkontribusi ke bukit utara Bandung dengan lahar mengalir ke lembah dan menjadi batu, sehingga membentuk bentukan-bentukan yang bagus. Begitu juga aliran lumpur telah membentuk gradient cone semi-circular, yang sekarang merupakan sebuah massa yang terendapkan di lembah kuno di dekat sungai Citarum di Padalarang (18 km barat Bandung ), hal ini menyebabkan terbentuknya sebuah danau yang meliputi seluruh Bandung. Gunung Tangkuban Perahu telah mengalami beberapa kali letusan, di lihat dari 2 abad terakhir gunung ini meletus di tahun 1829, 1846, 1863, 1887, 1896, 1910, dan yang terakhir terjadi pada tahun 1929. Akibat seringnya gunung ini meletus, sehingga banyak kawah yang terbentuk di sekitarnya, seperti Kawah Ratu, Upas, Domas, Baru, Jurig, Badak, Jurian, Siluman, serta Paguyuban Badak, pada tahun 1969 pun Tangkuban Perahu mengalami erupsi dengan kategori kecil, dan pada tahun 1992 terjadi erupsi yang cukup besar sehingga Gunung Tangkuban Perahu di tutup selama beberapa hari, karena aktivitas seismic yang luar biasa tinggi dan dikawatirkan terjadi letusan baru. Di utara lereng gunung merupakan wilayah yang disebut Death Valley, karena sering terakumulasi oleh gas beracun. Dilihat dari sejarah pembentukan dan morfologinya dataran tinggi Bandung ini di kelilingi oleh dua deretan gunung api, juga seluruh dataran Bandung di selimuti oleh bahan – bahan atau material vulkanik, hanya pada dua tempat ditemukan endapan-endapan sedimen yang terbentuk di laut dalam. Bagian tengah merupakan gunungapi itu sendiri, dan bagian sebelah selatan ditemukan dataran tinggi Bandung yang dahulu merupakan sebuah danau besar. Di dataran tinggi Bandung terdapat andapan-endapan danau seperti pasir, tanah liat, dan sebagainya. Bagian utara dari danau purba ini terdiri dari arus lahar dan tufa gunung Tangkuban Perahu dan di kaki gunungapi yang datar ini terletak kota Bandung, Cimahi, Padalarang. Jika kita mempelajari bentang alam dari daerah ini, maka akan terlihat beberapa kesatuan morfologi yang oleh Van Bamelen di bagi sebagai berikut : a. Jalur sebelah utara yang terdiri dari daerah perbukitan sekitar Subang yang diberi nama punggung Tambakan. b. Sebuah depresi sebelah dalam dari punggung ini. c. Pegunungan sentral terdiri dari kompleks gunungapi. d. Dataran tinggi Bandung sebelah selatan dari pegunungan vulkanik. e. Daerah perbukitan sekitar Cimahi. Sejarah geologi dataran tingg Bandung ini di mulai sejak zaman Miosin, pada jaman Miosin ini daerah pesisir utara jawa purba jauh dari daerah pesisir yang sekarang. letaknya berada di daerah Pangalengan, di sebelah utara Pangalengan dahulu merupakan sebuah lautan yang dimana terjadilah sebuah proses pembentukan dan pengendaman berbagai macam batuan sedimen. Proses pembentukan dan pengendapan in bisa di lihat sangat jelas di daerah Purwakarta, dimana endapan – endapan di daerah tersebut banyak sekali menyisakan endapan tanah liat, batu karang, batu kapur, tufa, dan sebagainya, namun di daerah Bandung sendiri endapan – endapan tersebut hanya bisa di jumpai di beberapa tempat saja, hal ini di sebabkan karena daerah - daerah di Bandung sebagian telah tertupup oleh material vulkanik, Umur endapan ini di tetapkan berdasarkan binatang-binatang purba yang dahulu pernah menenmpati lautan Miosin ini. Jaman yang tenang ini disusul oleh periode yang revolusioner, dalam periode ini dalam bumi terjadi gerak-gerak melipat dan mengangkat batuan-batuan yang dibentuk menjadi pegunungan yang muncul dari atas permukaan air laut. Periode ini adalah periode pembentukan pegunungan. Pesisir utara Jawa yang tadinya terletak sebelah selatan mulai berpindah keutara dengan kata lain sebagian daratan ditambahkan pada Jawa purba tersebut. Bagian selatan dari daerah Pengalengan diangkat. Selain dari periode pembentukan pegunungan, bekerja pula kekutan-kekuatan lain dalam bumi, yaitu kekuatan vulkanik yang membentuk gunungapi yang sisanya kini merupakan puncak tajam sekitar Cimahi misalnya gunung Selacau. Batuan-batuan yang terdapat pada gunungapi ini berupa Dasit, batuan lelehan yang mnegandung bahyak SiO2, berbeda dengan batuan yang dihasilkan oleh gunung Tangkuban Perahu kemudian. Pada jaman kwarter terjadi pembentukan dataran Bandung seperti yang kita kenal sekarang. Sejarah daerah gunungapi ini dapat kita bagi dalam dua periode, Jaman Kwarter Tua dan Jaman Kwarter Muda. Pada awal jaman kwarter tua aktivitas vuklkanik berpindah kesebelah utara, ketempat gunung Tangkuban Perahu sekarang berada. Pada jaman tersebut gunung Tangkuban Perahu belum lahir, namun yang ada adalah induk dari gunungapi Tangkuban perahu yaitu gunungapi Sunda. Gunungapi Sunda yang baru muncul ini sangat besar, dan menurut rekonstruksi mempunyai panjang sekitar 20 km dan tinggi 3000 mdpl. Kini hanya sisa yang masih tertinggal. Gunungpai ini mempunyai titik parasit seperti gunung Gurangrang, yaitu gunungapi yang lebih tua dari Tangkuban Perahu. Dapat dipahami jika melihat morfologi kedua gunung tersebut. Gunungapi Tangkuban Perahu masih mempunyai lereng yang licin dengan kata lain erosi belum terlalu lama bekerja sedangkan Burangrang telah banyak terdapat lembah-lembah erosi. Gunungapi parasit lainya yang terdapat pada gunungapi Sunda adalah gunung Palasari, gunung Tunggul. Semua bahan-bahan dari gunungapi tersebut menuju keberbagai arah, terutama menuju ke arah Subang dan ke selatan menuju Bandung. Setelah beberapa lamanya bekerja, maka gunungapi raksasa meletus dengan hebatnya. Pada letusan ini terbentuk kawah yang ukuranya beberapa kali dari kaldera. Sebagian besar gunungapi Sunda tersebut runtuh. Pada sesar Lembang, sebelah selatan terdapat suatu pegunungan panjang yang lurus memanjang dari timur ke barat. Sesar Lembang adalah sebuah sesar terbesar di daerah ini, yang melintang dari barat ke timur. Sesar ini terletak atau melalui Lembang dari mana nama sesar ini berasal yang kira-kira 10 km sebelah utara Bandung. Ini adalah sebuah sesar aktif dengan gawir sesar sangat jelas yang menghadap ke utara. Sesar ini yang panjang seluruhnya kira-kira 22 km dapat diamati sebagai suatu garis lurus dari G. Palasari di timur ke barat dekat Cisarua. Penyelidikan-penyelidikan terdahulu telah menghubungkan bahwa sesar Lembang yang dominannya adalah sesar normal terjadi setelah letusan besar gunung Sunda Purba yang berlangsung pada jaman Kwarter Tua. Setelah letusan gunungapi Sunda, terjadilah gerak naik-turun dalam kerak bumi. Oleh gerakan ini, maka terbentuklah patahan atau sesar Lembang. Bagian sebelah utara turun sekitar 450 m dibandingkan bagian selatan. Contoh yang jelas dari patahan ini adalah pada bukit Batu dan Batu Gantung. Bukit-bukit ini yang dahulu merupakan satu arus lava, terpotong dan seakan-akan tergantung. Van Bammelen bersintesa tentang daerah ini menganggap bahwa gerak yang terjadi bukan merupakan suatu gerak vertikal namun suatu gerak lengseran yang mengakibatkan pengerutan sedimen sebelah utara, sehingga membentuk punggung Tambakan. Setelah pembentukan patahan Lembang, gunung Tangkuban Perahu mulai terbetuk pada jaman Kwarter muda. Terjadi erupsi yang hebat dalam bentuk tufa-slak. Hasil pertama dari gunungapi tersebut adalah efflata (bahan-bahan lepas). Sebelah utara arus slak ini menuju ke arah Segalaherang dan sebelah selatan menuju Bandung. Material yang keluar mengisi depresi Lembang. Material yang keluar mencari celah menuju ke arah selatan melalui celah-celah pada dinding patahan. Arus lahar yang mengalir sebelah barat tak menemui halangan yang berarti, karena dinding patahan tak terlalu tinggi, sehingga mulailah bagian ini di banjiri oleh bahan-bahan material Tangkuban Perahu ke arah Cimahi dan Padalarang. Jalanya sungai Citarum pada saat itu berbeda dengan sekarang. Sungai ini mengalir kira-kira ke sebelah utara Cimahi dan berbelok ke arah Padalarang dan melalui lembah dimana sekarang terdapat sungai Cimeta. Lembah purba sungai Citarum masih dapat dikenal dari dalamnya dan lebar lembah yang di gunakan Cimeta tersebut. Sedangkan sungai Cimeta sendiri kecil dibandingkan dengan lembahnya. Arus lahar mengalir sebelah barat dari gunungapi Tangkuban Perahu, membendung sungai Citarum sehingga terjadilah danau Bandung. Selama erupsi besar Tangkuban Perahu daerah ini telah di huni manusia. Sungai Citarum dibendung oleh arus tufa breksi dilembah yang sempit dan besar kemungkinan pembendungan ini terjadi dalam waktu yang singkat. Disekitar Palasari ditemukan material dari batuan dengan umur diperkirakan neolitikum. Material batuan obsidian ditemukan juga disekitar gunung Malabar dan Dago dan umurnya ditaksir sekitar 3000-6000 tahun. Yang mengherankan adalah material demikian pada tempat lain tidak diketemukan. Besar kemungkinan hal ini disebabkan oleh penimbunan debu dan bahan material Tangkuban Perahu di daerah tersebut. Sungai Citarum tak lama kemudian terdapat batu gamping di barat Padalarang. Dengan demikian keringlah danau Bandung. Endapan-endapan danau ini merupakan tanah yang subur. Setelah letusan tersebut, terjadi gerak-gerak dalam bumi yang membentuk patahan. Oleh pembentukan patahan dalam gunung berapi ini maka keluarlah lava. Erupsi yang menghasilkan lava tersebut merupakan erupsi B dari gunungapi Tangkuban Perahu. Disebelah utara aktivitas lava ni besar, yang keluar sewaktu letusan gunung Cinta, gunung Malang, dan sebagainya. Oleh pergantian bahan efflata dan lava maka gunungapi Tangkuban Perahu merupakan gunungapi berlapis, karakteristik untuk Indonesia yang disebut gunung strato. Lava erupsi B susunanya basalt, berbeda dengan material gunung Sunda dan Burangrang yang bersusunan andesit (augit-hypersteen andesit). Lava yang mengalir sewaktu erupsi B telah menyebabkan pembentukan air terjun Dago dan juga merupakan basis dari komleks sumber-sumber air misalnya di Ciliang. Hasil letusan yang telah lapuk ini juga menyuburkan tanah di sekitar. Sesudah itu terjadi letusan-letusan yang menghasilkan material lepas yang merupakan erupsi C namun tak sehebat erupsi A. Letusan berganti-ganti keluar dari tigabelas kepundan yang menyebabkan bentuk mendatar dari puncak Tangkuban Perahu. Gunungapi Tangkuban Perahu terjadi perpindahan aktivitas pipa kepundan dari arah barat ke timur. Erupsi pertama (A) Gunung Api Tangkuban Perahu sangat hebat, material yang dikeluarkan sangat banyak sehingga dengan cara demikian mengakibatkan terbentuknya dataran tinggi Bandung. Menurut penelitian seorang ahli geologi Belanda, Van Bammelen, di tahun 1934, riwayat letusan gunungapi Tangkuban Perahu dapat di bagi menjadi tiga periode berdasarkan coraknya, yaitu : 1. Tahap A, tahap explosive. Selama tahap ini dikeluarkan berbagai bahan letusan yang terdiri atas segala ukuran, sehingga menutupi permukaan sekitarnya dan dihanyutkan sebagai lahar atau lumpur gunungapi. Saat itu di duga bahan letusanya menutupi aliran Sungai Citarum Purba sehingga airnya menggenangi cekungan Bandung dan terjadilah Danau Bandung Purba. 2. Tahap B, tahap effusive. Pada tahap ini bahan letusan terdiri dari aliran lava. 3. Tahap C, tahap pembentukan gunung yang sekarang. Morfologi Morfologi gunungapi ini dapat dibagi menjadi tiga satuan morfologi utama yaitu : o Kerucut strato aktif. o Lereng tengah. o Kaki. Kerucut strato aktif menempati bagian tengah kaldera Sunda. Kawah-kawah gunungapi ini membentang dengan arah barat-timur. Beberapa kawah terletak di daerah puncak dan beberapa lainnya terletak di lereng timur. Kerucut strato aktif ini tersusun dari selang-seling lava dan piroklastik dan di bagian puncak endapan freatik. Pola radier dengan bentuk lembah V, beberapa air terjun yang sangat umum ditemukan pada satuan morfologi ini. Morfologi lereng tengah meliputi lereng timurlaut, selatan dan tenggara gunungapi ini. Batuannya terdiri atas endapan piroklastik yang sangat tebal dan lava yang biasanya tersingkap di lembah-lembah sungai yang dalam dengan pola aliran sungai paralel dan semi memancar (semi radier). Lereng selatan dan tenggara terpotong oleh sesar Lembang, yang berarah timur-barat. Kaki selatan menempati bagian lereng tenggara dan selatan, yang terletak pada ketinggian antara 1200 m hingga 800 m dan antara 1000 hingga 600 m di atas permukaan laut. Lereng timurlaut mempunyai pusat-pusat erupsi parasit seperti G. malang, G. Cinta dan G. Palasari. Aliran-aliran lava dan skoria berwarna kemerahan yang menempati sebagian besar daerah kaki ini adalah berasal dari pusat-pusat erupsi ini. Pola aliran sungai yang berkembang di daerah ini adalah paralel dengan bentuk lembah U yang melewati batuan keras. Lereng selatan terletak antara sesar Lembang dan dataran tinggi Bandung di selatan. Bagian terbesar daerah ini dibentuk oleh batuan piroklastik dan endapan lahar, sedangkan lava ditemukan di dasar sungai. Pola aliran sungai yang berkembang di dalam satuan morfologi ini adalah paralel. Stehn (1929) meneliti tentang urutan pembentukan tiap kawah di gunung ini. Dia menyimpulkan bahwa kawah tertua (I) adalah kawah Pangguyangan Badak, telah hancur karena letusan pembentukan kawah kedua atau kawah Upas (II), sehingga yang tampak sekarang dari Kawah Pangguyangan Badak hanyalah pinggiran kawahnya saja. Secara periodik letusan terjadi kembali, yang akhirnya menghancurkan Kawah Upas menjadi Kawah Upas yang selanjutnya (III). Setelah itu, pusat letusan bergerak menghancurkan kawah I, kawah II, kawah III di bagia timur sehingga terbentuklah Kawah Ratu (IV). Letusan berikutnya terjadi di dasar kawah III dan menghasilkan Kawah Upas (V). Kemudian terjadi lagi perpindahan pusat letusan dari arah barat ke timur dan terbentuklah Kawah Ratu (VI). Letusan berikutnya terjadi di lereng sebelah timur, sebagai letusan lereng menghasilkan Kawah Jurig (X), Kawah Domas, Kawah Badak, Kawah Jarian (XI), dan Kawah Siluman (XII). Aktivitas letusan kemudian bergerak ke arah barat di tahun 1896 terjadi letusan di bagian bawah Kawah Upas (II) membentuk Kawah Baru (VII). Di tahun 1910 aktivitas berikutnya ke arah timur. Di bagian bawah Kawah Ratu (VIII). Pada tahun 1926 terjadi hal yang sama, menghasilkan kawah yang lebih kecil ukuranya, dinamakan Kawah Ecoma (IX). Pada tangaal 1 Mei 1960 aktivitas letusan membentuk lubang di dasar Kawah Ratu, Kawah (XIII). Pusat letusan yang selalu berpindah sepanjang 1100 m mengakibatkan proses penghancuran pada kawah terdahulu hanya berupa pinggiran kawah saja. Akhirnya pergerakan pusat letusan dari Kawah Pangguyangan Badak ke Kawah Ratu menghasilkan bentuk puncak gunung Tangkuban Perahu menjadi tidak lancip melainkan berbentuk seperti perahu terbalik.
Legenda Sangkuriang
Sangkuriang adalah legenda yang berasal dari Tatar Sunda. Legenda tersebut berkisah tentang terciptanya danau Bandung, GunungTangkuban Parahu, Gunung Burangrang, dan Gunung Bukit Tunggul.
Dari legenda tersebut, kita dapat menentukan sudah berapa lama orang Sunda hidup di dataran tinggi Bandung. Dari legenda tersebut yang didukung dengan fakta geologi, diperkirakan bahwa orang Sunda telah hidup di dataran ini sejak beribu tahun sebelum Masehi.
Legenda Sangkuriang awalnya merupakan tradisi lisan. Rujukan tertulis mengenai legenda ini ada pada naskah Bujangga Manik yang ditulis pada daun lontar yang berasal dari akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Dalam naskah tersebut ditulis bahwa Pangeran Jaya Pakuan alias Pangeran Bujangga Manik atau Ameng Layaran mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa danpulau Bali pada akhir abad ke-15.
Setelah melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik tiba di tempat yang sekarang menjadi kota Bandung. Dia menjadi saksi mata yang pertama kali menuliskan nama tempat legendanya. Laporannya adalah sebagai berikut:
-
- Leumpang aing ka baratkeun (Aku berjalan ke arah barat)
- Datang ka Bukit Patenggeng (kemudian datang ke Gunung Patenggeng)
- Sakakala Sang Kuriang (tempat legenda Sang Kuriang)
- Masa dek nyitu Ci tarum (Waktu akan membendung Citarum)
- Burung tembey kasiangan (tapi gagal karena kesiangan)
Daftar isi
Ringkasan cerita
Awalnya diceritakan di kahyangan ada sepasang dewa dan dewi yang berbuat kesalahan, maka oleh Sang Hyang Tunggal mereka dikutuk turun ke bumi dalam wujud hewan. Sang dewi berubah menjadi babi hutan (celeng) bernama celeng Wayung Hyang, sedangkan sang dewa berubah menjadi anjing bernama si Tumang. Mereka harus turun ke bumi menjalankan hukuman dan bertapa mohon pengampunan agar dapat kembali ke wujudnya menjadi dewa-dewi kembali.
Diceritakan bahwa Raja Sungging Perbangkara tengah pergi berburu. Di tengah hutan Sang Raja membuang air seni yang tertampung dalam daun caring (keladi hutan), dalam versi lain disebutkan air kemih sang raja tertampung dalam batok kelapa. Seekor babi hutan betina bernama Celeng Wayung Hyang yang tengah bertapa sedang kehausan, ia kemudian tanpa sengaja meminum air seni sang raja tadi. Wayung Hyang secara ajaib hamil dan melahirkan seorang bayi yang cantik, karena pada dasarnya ia adalah seorang dewi. Bayi cantik itu ditemukan di tengah hutan oleh sang raja yang tidak menyadari bahwa ia adalah putrinya. Bayi perempuan itu dibawa ke keraton oleh ayahnya dan diberi nama Dayang Sumbi alias Rarasati. Dayang Sumbi tumbuh menjadi gadis yang amat cantik jelita. Banyak para raja dan pangeran yang ingin meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima.
Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi pun atas permintaannya sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu Si Tumang. Ketika sedang asyik menenun kain, torompong (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah bale-bale. Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya, jika perempuan akan dijadikan saudarinya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Akibat perkataannya itu Dayang Sumbi harus memegang teguh persumpahan dan janjinya, maka ia pun harus menikahi si Tumang. Karena malu, kerajaan mengasingkan Dayang Sumbi ke hutan untuk hidup hanya ditemani si Tumang. Pada malam bulan purnama, si Tumang dapat kembali ke wujud aslinya sebagai dewa yang tampan, Dayang Sumbi mengira ia bermimpi bercumbu dengan dewa yang tampan yang sesungguhnya adalah wujud asli si Tumang. Maka Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Sangkuriang. Sangkuriang tumbuh menjadi anak yang kuat dan tampan.
Suatu ketika Dayang Sumbi tengah mengidamkan makan hati menjangan, maka ia memerintahkan Sangkuriang ditemani si Tumang untuk berburu ke hutan. Setelah sekian lama Sangkuriang berburu, tetapi tidak nampak hewan buruan seekorpun. Hingga akhirnya Sangkuriang melihat seekor babi hutan yang gemuk melarikan diri. Sangkuriang menyuruh si Tumang untuk mengejar babi hutan yang ternyata adalah Celeng Wayung Hyang. Karena si Tumang mengenali Celeng Wayung Hyang adalah nenek dari Sangkuriang sendiri maka si Tumang tidak menurut. Karena kesal Sangkuriang menakut-nakuti si Tumang dengan panah, akan tetapi secara tak sengaja anak panah terlepas dan si Tumang terbunuh tertusuk anak panah. Sangkuriang bingung, lalu karena tak dapat hewan buruan maka Sangkuriang pun menyembelih tubuh si Tumang dan mengambil hatinya. Hati si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, suaminya sendiri, maka kemarahannya pun memuncak serta-merta kepala Sangkuriang dipukul dengan sendok yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga terluka.
Sangkuriang ketakutan dan lari meninggalkan rumah. Dayang Sumbi yang menyesali perbuatannya telah mengusir anaknya, mencari dan memanggil-manggil Sangkuriang ke hutan memohonnya untuk segera pulang, akan tetapi Sangkuriang telah pergi. Dayang Sumbi sangat sedih dan memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar kelak dipertemukan kembali dengan anaknya. Untuk itu Dayang Sumbi menjalankan tapa dan laku hanya memakan tumbuh-tumbuhan dan sayuran mentah (lalapan). Sangkuriang sendiri pergi mengembara mengelilingi dunia. Sangkuriang pergi berguru kepada banyak pertapa sakti, sehingga Sangkuriang kini bukan bocah lagi, tetapi telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang kuat, sakti, dan gagah perkasa. Setelah sekian lama berjalan ke arah timur akhirnya sampailah di arah barat lagi dan tanpa sadar telah tiba kembali di tempat Dayang Sumbi, ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenali bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi - ibunya. Karena Dayang Sumbi melakukan tapa dan laku hanya memakan tanaman mentah, maka Dayang Sumbi menjadi tetap cantik dan awet muda. Dayang Sumbi pun mulanya tidak menyadari bahwa sang ksatria tampan itu adalah putranya sendiri. Lalu kedua insan itu berkasih mesra. Saat Sangkuriang tengah bersandar mesra dan Dayang Sumbi menyisir rambut Sangkuriang, tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah putranya, dengan tanda luka di kepalanya, bekas pukulan sendok Dayang Sumbi. Walau demikian Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi sekuat tenaga berusaha untuk menolak. Maka ia pun bersiasat untuk menentukan syarat pinangan yang tak mungkin dipenuhi Sangkuriang. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai Citarum. Sangkuriang menyanggupinya.
Maka dibuatlah perahu dari sebuah pohon yang tumbuh di arah timur, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung Bukit Tanggul. Rantingnya ditumpukkan di sebelah barat dan menjadi Gunung Burangrang. Dengan bantuan para guriang (makhluk halus), bendungan pun hampir selesai dikerjakan. Tetapi Dayang Sumbi memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar niat Sangkuriang tidak terlaksana. Dayang Sumbi menebarkan helai kain boeh rarang (kain putih hasil tenunannya), maka kain putih itu bercahaya bagai fajar yang merekah di ufuk timur. Para guriang makhluk halus anak buah Sangkuriang ketakutan karena mengira hari mulai pagi, maka merekapun lari menghilang bersembunyi di dalam tanah. Karena gagal memenuhi syarat Dayang Sumbi, Sangkuriang menjadi gusar dan mengamuk. Di puncak kemarahannya, bendungan yang berada diSanghyang Tikoro dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi Gunung Tangkuban Perahu.
Sangkuriang terus mengejar Dayang Sumbi yang lari menghindari kejaran anaknya yang telah kehilangan akal sehatnya itu. Dayang Sumbi hampir tertangkap oleh Sangkuriang di Gunung Putri dan ia pun memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar menyelamatkannya, maka Dayang Sumbi pun berubah menjadi setangkai bunga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan Ujung berung akhirnya menghilang ke alam gaib (ngahiyang).
Kesesuaian dengan fakta geologi
Legenda Sangkuriang sesuai dengan fakta geologi terciptanya Danau Bandung dan Gunung Tangkuban Parahu.
Penelitian geologis mutakhir menunjukkan bahwa sisa-sisa danau purba sudah berumur 125 ribu tahun. Danau tersebut mengering 16.000 tahun yang lalu.
Telah terjadi dua letusan Gunung Sunda purba dengan tipe letusan Plinian masing-masing 105.000 dan 55.000-50.000 tahun yang lalu. Letusan plinian kedua telah meruntuhkan kaldera Gunung Sunda purba sehingga menciptakan Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang (disebut juga Gunung Sunda), dan Gunung Bukittunggul.
Adalah sangat mungkin bahwa orang Sunda purba telah menempati dataran tinggi Bandung dan menyaksikan letusan Plinian kedua yang menyapu pemukiman sebelah barat Ci Tarum (utara dan barat laut Bandung) selama periode letusan pada 55.000-50.000 tahun yang lalu saat Gunung Tangkuban Parahu tercipta dari sisa-sisa Gunung Sunda purba. Masa ini adalah masanya Homo sapiens; mereka telah teridentifikasi hidup di Australia selatan pada 62.000 tahun yang lalu, semasa dengan Manusia Jawa (Wajak) sekitar 50.000 tahun yang lalu.
Sangkuriang dan Falsafah Sunda
Menurut Hidayat Suryalaga, legenda atau sasakala Sangkuriang dimaksudkan sebagai cahaya pencerahan (Sungging Perbangkara) bagi siapa pun manusianya (tumbuhan cariang) yang masih bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan menemukan jatidiri kemanusiannya (Wayungyang). Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini akan melahirkan kata hati (nurani) sebagai kebenaran sejati (Dayang Sumbi, Rarasati). Tetapi bila tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh/eling (torompong), maka dirinya akan dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus menerus (digagahi si Tumang) yang akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa yang belum tercerahkan (Sangkuriang). Ketika Sang Nurani termakan lagi oleh kewaswasan (Dayang Sumbi memakan hati si Tumang) maka hilanglah kesadaran yang hakiki. Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan dengan dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (kepala Sangkuriang dipukul). Kesombongannya pula yang memengaruhi “Sang Ego Rasio” untuk menjauhi dan meninggalkan Sang Nurani. Ternyata keangkuhan Sang Ego Rasio yang berlelah-lelah mencari ilmu (kecerdasan intelektual) selama pengembaraannya di dunia (menuju ke arah Timur). Pada akhirnya kembali ke barat yang secara sadar maupun tidak sadar selalu dicari dan dirindukannya yaitu Sang Nurani (Pertemuan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi).
Walau demikian ternyata penyatuan antara Sang Ego Rasio (Sangkuriang) dengan Sang Nurani yang tercerahkan (Dayang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego Rasio (Sangkuriang) harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang dilandasi kasih sayang, interdependency – silih asih-asah dan silih asuh yang humanis harmonis, yaitu satu telaga kehidupan sosial (membuat Talaga Bandung) yang dihuni berbagai kumpulan manusia dengan bermacam ragam perangainya (Citarum). Sementara itu keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego Rasio sendiri (pembuatan perahu). Keberadaan Sang Ego Rasio itu pun tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal muasalnya (Bukit Tunggul, pohon sajaratun) sejak dari awal keberada-annya (timur, tempat awal terbit kehidupan). Sang Ego Rasio pun harus pula menunjukkan keberadaan dirinya (tutunggul, penada diri) dan pada akhirnya dia pun akan mempunyai keturunan yang terwujud dalam masyarakat yang akan datangd dan suatu waktu semuanya berakhir ditelan masa menjadi setumpuk tulang-belulang (gunung Burangrang).
Betapa mengenaskan, bila ternyata harapan untuk bersatunya Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani yang tercerahkan (hampir terjadi perkawinan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi), gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan (boeh rarang atau kain kafan). Akhirnya suratan takdir yang menimpa Sang Ego Rasio hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada “dirinya”. Maka ditendangnya keegoisan rasio dirinya, jadilah seonggok manusia transendental tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (Gunung Tangkubanparahu).
Walau demikian lantaran sang Ego Rasio masih merasa penasaran, dikejarnya terus Sang Nurani yang tercerahkan dambaan dirinya (Dayang Sumbi) dengan harapan dapat luluh bersatu antara Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani. Tetapi ternyata Sang Nurani yang tercerahkan hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang pernah terjadi dan dialami Sang Ego Rasio (bunga Jaksi).
Akhir kisah yaitu ketika datangnya kesadaran berakhirnya kepongahan rasionya (Ujungberung). Dengan kesadarannya pula, dicabut dan dilemparkannya sumbat dominasi keangkuhan rasio (gunung Manglayang). Maka kini terbukalah saluran proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun (Sanghyang Tikoro atau tenggorokan; bahasa Sunda: Hade ku omong goreng ku omong). Dan dengan cermat dijaga benar makanan yang masuk ke dalam mulutnya agar selalu yang halal bersih dan bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar